Tajuk: UUPA Dan Refleksi Hari Tani Nasional Ke-60, Sudahkah Kita Berterima Kasih Kepada Petani ?

Ditulis oleh pertanian on . Posted in Artikel Pertanian

MAGELANG-Hari Tani Nasional di Indonesia yang diperingati hari ini, kamis, 24 September 2020 merupakan peringatan tahunan yang ke-60. Hari peringatan yang diambil dari hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 1960 telah menjadi noktah penting sejarah bangsa dalam memandang arti penting petani dan hak kepemilikan atas tanah serta keberlanjutan masa depan agraria di Indonesia. Kondisi ini sangat krusial sekaligus esensial mengingat mayoritas rakyat Indonesia adalah petani, dan berdampingan dengan kompleksnya kehidupan agraria.

Menciptakan sebuah Undang-Undang Pokok yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar dan preferensi hidup petani merupakan suatu kemajuan penting dalam memandang letak krusialnya petani bagi tonggak keberlanjutan hidup bangsa yang adil dan makmur. Meski begitu, tak banyak orang mengetahui arti penting hari peringatan ini. Bukan berarti memberikan porsi lebih pada hari peringatan tersebut dan menganggapnya sebagai segala-galanya, dan mengesampingkan hal-hal esensial lainnya terkait kemaslahatan petani. Peringatan Hari Tani, diharapkan mampu mendorong petani selangkah lebih maju dan menempatkannya dalam barisan kunci tonggak kehidupan menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Namun, yang menjadi permasalahan pokok sebenarnya adalah sudahkah kehidupan agraria di Indonesia sejalan dengan semangat awalnya, dengan mengacu pada UUPA, yang sebentar lagi akan diperingati? Sebab, tak dapat disangsikan lagi, kehidupan petani kini semakin pelik dengan berbagai masalah yang dihadapi. Tiap detik ia dihantui kenyataan akan kehilangan tanah, dan kerapkali mesti berbenturan dengan kepentingan negara yang getol dengan semangat pembangunan. Sekilas, dapat kita saksikan kontradiksi yang akut antara UUPA dan realita di lapangan yang sedang menimpa nasib petani hari ini.


Menanggulangi Ketimpangan

Sederhananya, UUPA lahir sebagai antitesis atas kepemilikan tanah yang tersentral dan berpusat pada segelintir orang atau golongan. Bila sedikit ditarik mundur ke belakang, UU ini pula hadir untuk menggantikan kebijakan-kebijakan mengenai pertanahan yang ditinggalkan kolonial Belanda, misalnya Agrarishe Wet yang diterbitkan pada 1870. Berbagai kebijakan kolonial tersebut sangat tidak menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya petani.

UUPA ini lahir di tengah-tengah kondisi timpangnya kepemilikan atas tanah. Di satu sisi, terdapat golongan yang mempunyai kepemilikan atas tanah yang amat luas hingga ribuan bahkan jutaan hektar. Sedangkan, di sisi lain terdapat masyarakat yang memiliki luas tanah yang sedikit atau bahkan sama sekali tak memiliki hak kepemilikan atas tanah. Padahal, bila kembali ditelisik lebih jauh, golongan masyarakat inilah yang sebenarnya memiliki relasi yang sangat dekat dalam pengelolaan dan pemanfaatan atas tanah, salah satunya untuk pertanian (petani, buruh tani, dan lain-lain).

Atas dasar tersebut, lahirlah UUPA. Dalam Pasal 7 UU tersebut setidaknya terdapat pembatasan atas kepemilikan tanah yang luas. Bahkan, secara lebih jauh dalam Pasal 10 tersirat penekanan yang jelas bahwa hak kepemilikan atas tanah diwajibkan untuk dikerjakan (digarap) sendiri secara aktif sesuai tenaga dan kekuatan pemilik tanah. Artinya, luas areal kepemilikan tanah hanya boleh dimiliki apabila si pemilik tanah tersebut dapat mengerjakannya secara aktif (dikerjakan sendiri sesuai kebutuhan dan kemampuannya).

Secara konseptual, terbentuknya UUPA merupakan sebuah langkah progresif dalam menanggulangi ketimpangan, dan pula menjadi suatu jembatan menuju kehidupan masyarakat yang berdaulat, adil, dan makmur. Sebab, misi yang dituju sangat jelas. Ia menyasar bagian dari rakyat Indonesia yang terpinggirkan secara ekonomi, yakni masyarakat tak bertanah, yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi buruh (dengan menjual satu-satunya harta yang dimiliki, yakni tenaga). Hal ini dilakukan dengan meredistribusikan kepemilikan atas tanah kepada mereka yang berhak mendapatkannya, mereka yang memang secara aktif menggarapnya sendiri.

Dengan kata lain, tanah benar-benar ditujukan kepada mereka yang menggarap, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Hal tersebut untuk memberikan akses kepada masyarakat untuk mencapai kemandirian dan sebagai sarana mengupayakan masyarakat yang berdaulat, adil, dan makmur.


 

Tak Berkutik

Kini, realita menampilkan sesuatu yang sangat membingungkan. Di satu sisi, negara melalui kebijakannya berusaha melakukan --apa yang sering kita dengar sebagai-- "reforma agraria" . Sedangkan, di sisi lain negara juga melalui kebijakan pembangunannya berupaya mengalihfungsikan lahan yang tak terhitung banyaknya. Belum lagi dengan masuknya berbagai investasi perusahaan, yang kemudian berakibat pada penyingkiran berbagai kepentingan hidup petani.

Dengan menggenjot infrastruktur, dapat bersama kita saksikan bagaimana bendungan, jalan tol, bandara berdiri di atas tanah yang sebelumnya digunakan sebagai lahan pertanian untuk keberlangsungan hidup petani. Pembangunan infrastruktur memang jelas patut kita syukuri. Namun, menyaksikan petani kehilangan lahan garapan yang menjadi tempat ia bergantung hidup juga tak bisa kita banggakan.

Bagaimana bisa kita menjelaskan arah kemajuan di tengah-tengah kondisi hidup yang memprihatinkan, dari sebagian masyarakat petani yang baru saja kehilangan tanahnya? Jelaslah bagi mereka hal ini merupakan suatu malapetaka besar, di mana mereka mesti kehilangan sumber mata pencaharian untuk --apa yang sering kita dengar sebagai-- "memajukan kepentingan umum". Untuk bertahan hidup, mereka mesti beralih profesi menuju dunia kerja non-pertanian. Bila tetap pada profesi tani, mereka mesti rela menjadi buruh tani yang menjual tenaganya. Sebab, kini mereka tak lagi memiliki lahan sebagai alat produksinya sendiri.

 

Dengan begitu, UUPA yang menjadi tameng kunci bagi petani untuk mendapatkan hak dan kepemilikannya atas tanah untuk kesejahteraan hidupnya mesti diakui kini tak berkutik di hadapan kepentingan negara, atau bahkan swasta. Tanah untuk rakyat yang menggarap, dan semestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat --sebagaimana yang tertuang dalam UU tersebut-kini seolah menjadi aturan kosong tak bermakna. Sebab, ia lagi-lagi tak mampu menunjukkan eksistensinya dengan menyelamatkan kepentingan petani yang menjadi subjek yang ia bela.

        Untuk menghargai peran petani, Tan Malaka pernah mengungkapkan dalam bukunya 'Madilog', "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan terlalu pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul, dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali". Bahkan Sukarno pun pernah beretorika “Pangan adalah pilar hidup matinya sebuah bangsa”. Namun pernahkah kita berterima kasih kepada para petani pejuang pangan. Keramahannya yang putih, ketulusannya yang tak pernah menagih. Mari tanyakan pada rumput yang bergoyang... (among_wibowo, red)