• Magelang Kota Sejuta Bunga
    Berangkat dari sebutan "Sebagai Tuin Van Java" (Kota Kebun atau Tamannya Pulau Jawa), Magelang dijuluki sebagai Kota Sejuta Bunga. Ibarat bunga, Kota Magelang ...
    Read more
  • Ayo Ke Magelang
    Ayo Ke Magelang

    Never Ending Eating-eating & Walking-walking ...

  • Taman Wisata Candi Borobudur
    Taman Wisata Candi Borobudur

    Mari berkunjung ke Taman Wisata Candi Borobudur, objek wisata favorit di Indonesia...

  • Magelang (1)
    Magelang (1)
  • Magelang (2)
    Magelang (2)
  • Magelang (3)
    Magelang (3)
  • Magelang (4)
    Magelang (4)
  • Magelang (5)
    Magelang (5)
  • Magelang (6)
    Magelang (6)
  • Magelang (7)
    Magelang (7)
  • Magelang (8)
    Magelang (8)
  • Magelang (9)
    Magelang (9)
  • Magelang (10)
    Magelang (10)
  • Magelang (11)
    Magelang (11)
  • Magelang (12)
    Magelang (12)
  • Magelang (13)
    Magelang (13)

Strategi Menurunkan Kadar Gas Rumah Kaca (GRK) Sebagai Dampak Kegiatan Pertanian

on .

Oleh :

Among Wibowo, SP, MMA

Penyuluh Pertanian Madya Pada DIsperpa Kota Magelang

 

Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) diantaranya berasal dari kegiatan penggundulan hutan, degradasi lahan gambut, dan kebakaran hutan. Emisi GRK dari penggundulan hutan dan kebakaran hutan adalah paling besar jika dibanding dengan sektor non kehutanan. Emisi GRK dari sektor kehutanan, khususnya penggundulan hutan, menyumbang 83% dari emisi tahunan GRK Indonesia. Emisi GRK dari kegiatan pertanian sangat kecil dan kurang signifikan secara global. Emisi GRK dari kegiatan pertanian sebagian besar (70%) berasal dari produksi padi, terutama gas methana (CH4) dan nitrogen dioksida (N2O). Emisi GRK akan berdampak terhadap peningkatan suhu global yang selanjutnya berdampak buruk bagi sektor pertanian. Untuk menurunkan GRK telah dilakukan berbagai upaya diantaranya melalui berbagai kegiatan pertanian dan peternakan yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertanian
1. Pengelolaan tanah

Dengan melakukan pengelolaan tanah yang baik tentunya dengan melakukan manajemen kesuburan tanah yang baik pula yaitu dengan cara penggunaan bahan organik (kompos) dan mengurangi penggunaan pupuk kimia sintesis seperti urea karena akan meningkatkan emisi N2O ke atmosfer. Penggunaan pupuk urea, meningkatkan emisi methan. Dalam jangka panjang dapat diupayakan penggunaan pupuk berbahan dasar ammonium seperti sulfic-amonium ((NH3)2 SO4) yang tetap dapat menjaga produktivitas tanaman namun rendah emisi methan.

2. Pengelolaan air

Pengelolaan air (watershed management) atau pengaturan irigasi (control irigation) berkaitan dengan budidaya padi yang berkontribusi pada emisi gas methan. Pengelolaan air atau pengaturan irigasi tentunya difokuskan pada proses penggenangan secara berkala dan terkendali sehingga air hanya mengalir dan tergenang pada saat tertentu saja.
3. Pemilihan varietas

Penggunaan varietas yang unggul dan adaptif terhadap praktek pertanian terpadu akan mengurangi input pupuk kimia dan aktivitas ini tentunya akan mengurangi emisi N2O dari pupuk kimia dengan tetap mempertahankan kualitas produk pertanian.
4. Pemanfaatan limbah pertanian

Limbah pertanian dihasilkan dari kegiatan budidaya (on farm) dan pengolahan hasil (off farm). Jika limbah dikelola dengan baik tentunya akan mengurangi emisi gas CH4, N2O, COx dan CO2. Selain itu limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, biogas, pupuk organik dan bahan bakar nabati (biomass).

5. Diversifikasi pangan

Keragaman bahan pangan akan memperkuat ketahanan pangan nasional. Keragaman pangan akan memberika efek positif pada pengurangan emisi GRK, karena penyediaan pangan tidak tergantung pada padi yang dalam budidaynya berkontribusi pada peningkatan emisi gas methan.

 

Peternakan
1. Inseminasi buatan dan pemuliaan galur

Dengan inseminasi buatan dan pemuliaan galur diharapkan dihasilkan ternak yang memiliki kualitas lebih baik dari sebelumnya yaitu lebih tahan penyakit, kemampuan reproduksi yang baik. Ternak yang berkualitas baik akan meningkatkan produksi sehingga secara tidak langsung mengurangi emisi gas methan.

2. Pemanfaatan kotoran ternak

Kotoran ternak yang dikelola dengan baik akan menghasilkan biogas atau pupuk organik yang selanjutnya akan mengurangi emisi gas methan

Berdasarkan data dari ADB-GEF-UNDP (1998), kegiatan pertanian (budidaya padi dan ternak) yang berpeluang menurunkan emisi GRK dapat dilihat pada data berikut:
Kegiatan budidaya padi:

1. Tanpa olah tanah : menurunkan gas methan sebesar 10,8 Gg

2. Substitusi urea tabur dg sulficsulfunic : menurunkan gas methan sebesar 10 Gg

3. Substitusi urea tabur dgn urea tablet : menurunkan gas methan sebesar 18 Gg

4. Pembibitan langsung : menurunkan gas methan sebesar 37 Gg

5. Pengaturan irigasi : menurunkan gas methan sebesar 55,5 Gg

6. Substitusi varietas dgn IR4 : menurunkan gas methan sebesar 90 Gg

Kegiatan peternakan:

1. Pemberian mineral : menurunkan gas methan sebesar 40 Gg

2. Penggunaan pakan : menurunkan gas methan sebesar 30 Gg

3. Pembangunan biogas : menurunkan gas methan sebesar 70 Gg

4. Inseminasi buatan : menurunkan gas methan sebesar 15 Gg

5. Modifikasi rumen : menurunkan gas methan sebesar 25 Gg

6. Peningkatan daya cerna : menurunkan gas methan sebesar 15 Gg

Pengurangan emisi gas methan dari sektor pertanian harus menjadi prioritas uttama. Berdasrkan hasil inventarisasi GRK, pada tahun 1990 emisi gas methan dari sektor pertanian yang meliputi CH4, N2O, NOx dan CO2 mencapai 71.137,92 Gg atau mencapai 94,4% dari seluruh emisi GRK sektor pertanian.

 

Pustaka

Badan Litbang Pertanian, 2009, Pengembangan Inovasi Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Pengaturan Air Pada Tanaman Padi Untuk Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim

on .

Oleh :

Among Wibowo, SP, MMA

Penyuluh Pertanian Madya Pada Disperpa Kota Magelang

Twitter

Dampak perubahan iklim adalah kondisi kerugian dan keuntungan, baik secara fisik, produk, maupun secara sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim. Sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan (mempunyai tingkat kerentanan paling tinggi) terhadap perubahan iklim karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman (kelebihan dan kekurangan) air, meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim, dan curah hujan yang lebat dan menyebabkan banjir, adalah hanya sebagian contoh kecil dari akibat perubahan iklim.

Kerentanan terhadap perubahan iklim adalah sebuah kondisi yang mengurangi kemampuan manusia untuk menyiapkan diri, atau menghadapi kerawanan ataupun bencana. Secara umum, perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan: (a) Kerusakan sumberdaya lahan pertanian, (b) Peningkatan frekuensi, luas, dan bobot/intensitas kekeringan dan banjir, (c) Peningkatan intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan (d) Kegagalan panen dan tanaman, penurunan Indeks Pertanaman, penurunan produktivitas, kualitas dan produksi.

Dengan adanya perubahan tahun-tahun ini mengakibatkan dampak pada lahan pertanian khususnya dalam pengaturan air untuk tanaman padi semangkin kurang baik kadang kekurangan dan kelebihan air tidak begitu stabilnya untuk perairan tanaman padi sehingga hal ini dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan dan perkembangan tanaman padi untuk masa vegetatif dan generatif.

Tanaman padi akan lebih baik tumbuhnya dan meningkatnya produksi padi adalah diperlukan air yang cukup atau tidak berlebihan, dalam menghadapi perubahan iklim yang begitu berubah-berubah maka disarankan para penyuluh pertanian dan petani di lapangan yang agar lebih memperhatikan untuk mengatur jalannya air yang lebih baik agar tidak terhadap dalam membudidayakan tanaman padi. Adapun langkah-langkah yang dilakukan hal sebagai berikut ; Prinsip-prinsip Pengelolaan Irigasi ada dua prinsip utama

(a) Pekalen Regeling: sistem pengelolaan yang didasarkan pada pola tanam (cultuur plan) yang ditetapkan sebelumnya. Pengelolaan air irigasi diperlukan untuk mendukung terlaksananya pola tanam yang dikehendaki, suatu prinsip klasik tentang azas. (a) Pekalen Regeling: sistem pengelolaan yang didasarkan pada pola tanam (cultuur plan) yang ditetapkan sebelumnya. Air irigasi diperlukan untuk mendukung terlaksananya pola tanam yang dikehendaki, suatu prinsip klasik tentang azas kegunaan, (b) Pategoean Regeling: mengadopsi prinsip pengelolaan air pada daerah irigasi yang dibangun masyarakat sendiri yaitu alokasi air berdasarkan kesamaan kesempatan, sedangkan pola tanam diserahkan sendiri pada masyarakat. Pada masa penjajahan untuk kepentingan kolonial maka dipilih yang pertama dengan turunannya sistem Golongan, sistem Pasten dll.

Sejak Pelita I: komitmen rehabilitasi dan perluasan irigas dipacu oleh kepentingan mencapai swasembada beras, dengan bantuan kredit lunak dari IDA (International Development Agency). Pada kurun waktu 1969-1984: Areal Irigasi seluas 3,4 juta hektar dalam kondisi rusak menjadi 5,0 juta hektar kondisi baik. Intensitas Pertanaman meningkat dari 100% menjadi 145%. produktivitas naik lebih dari 2 kali lipat (2 ton GKG/ha - 4,3 ton GKG/ha). Swasembada beras dicapai tahun 1984 - 1993, dan kembali swasembada beras tahun 2004 sampai sekarang. Swasembada beras tersebut dapat dicapai dengan pengelolaan irigasi yang baik dan teknik budidaya tanaman padi yang diterapkan petani sesuai anjuran serta dukungan dari berbagai pihak yang terkait.

Penggunaan air irigasi dapat dilakukan secara efesien dan efektif sesuai dengan volume air yang ada dapat dilakukan antara lain ; a) pemeliharaan bendungan, saluran primer, sekunder dan tertier, dengan pemeliharaan bendungan dan saluran tersebut maka air yang ada benar-benar dapat dialirkan ke persawahan para petani yang menanam padi, b) pemasukan air ke sawah sesuai kebutuhan, air yang dialirkan ke persawahan para petani harus disesuaikan debitnya sesuai kebutuhan padi yang sedang ditanam, pada saat air dibutuhkan padi misalnya pada persemaian dan pertumbuhan, sedangkan pada saat musim hujan dan pengeringan butir malai maka debit air yang dimasukkan ke sawah dikurangi/dibatasi, c) pengolahan tanah, pada saat pengolahan tanah ada masa pelapukan/pengeringan tanah maka saat itu pemasukan air ke sawah diberhentikan sehingga air dapat digunakan ke lahan sawah lainnya yang dibutuhkan petani.

Pada prinsipnya para petani padi di lapangan disarankan dalam pengelolaan air yang berhubungan dengan perubahan iklim harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut ; a) bila iklim terjadi ekstrim kering maka usahakan menggunakan air irigasi sehemat mungkin yaitu pada saat vegetatif pertumbuhan padi air disalurkan secara teratur sehingga air tidak terbuang percuma,b) bila iklim terjadi ekstrim basah yaitu hujan berkepanjangan maka saluran air dalam petakan sawah harus di kontrol setiap saat supaya air jangan berlebihan di dalam petakan sawah yang dapat meningkatkan serangan hama penyakit yang terjadi. Dalam hal ini para petani di lapangan harus lebih berhati-hati dan lebih bekerja keras dengan terjadinya perubahan iklim.

 

Pustaka

Badan Litbang, 2010, Peta Kerentanan Sektor Pertanian dan Dampak Perubahan Iklim, Jakarta.
Kementan, 2010, Kenali dan Pahami Perubahan Iklim, Jakarta
Ibrahim Saragih, 2006, Peranan Penyuluh Pertanian dalam Peningkatan Produksi Padi, Disertasi, Bogor

Teknik Budidaya Padi Sawah Bebas Residu

on .

Oleh :

Among Wibowo, SP, MMA

Penyuluh Pertanian Madya Pada Disperpa Kota Magelang

 

Era pestisida memang menyerang dunia pertanian sejak pupuk buatan pertama kali ditemukan sekitar abad ke-19. Dengan penggunaan pupuk buatan itu, keuntungan lebih murah, lebih kuat, dan lebih gampang didistribusikan.

Metoda itu memiliki dampak jangka panjang yang merugikan, mulai turunnya nilai kesuburan tanah hingga permasalahan zat-zat kimia berbahaya. Pestisida kimia juga dapat menjadi residu pada produk yang dihasilkan.   Untuk menekan dampak merugikan tersebut perlu digalakkan budidaya tanaman yang mengurangi penggunaan pestisida kimia, melalui pengembangan budidaya padi bebas residu untuk menghasilkan gabah/beras yang berkualitas.

Untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat dan berkualitas maka harus tersedia pangan secara cukup dan bermutu.   Beras yang dikonsumsi harus beras sehat bebas residu  bahan kimia,  khususnya  residu  pestisida  yang  dapat membahayakan kesehatan manusia.

Pestisida kimia perlu diganti dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan bahan dan metode hayati, termasuk musuh alami, pestisida hayati dan feromon. Dengan cara ini, dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi.

Beberapa dampak negatif dari sistem pertanian konvensional adalah pencemaran air tanah dan air permukaan;  membahayakan kesehatan manusia dan hewan, baik karena pestisida maupun bahan aditif pakan;  pengaruh negatif senyawa kimia pertanian tersebut pada mutu dan kesehatan makanan; penurunan keanekaragaman hayati;  perusakan dan pembunuhan satwa liar, lebah madu, dan jasad berguna lainnya; meningkatnya daya ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida; merosotnya produktivitas lahan karena erosi, pemadatan lahan, dan berkurangnya bahan organik; ketergantungan yang makin kuat terhadap sumber daya alam tidak terbaharui (non-renewable natural resources); resiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pekerjaan pertanian.

Budidaya padi bebas residu atau pertanian organik pada dasarnya tidak berbeda dengan budidaya padi secara konvensional. Pertanian organik biasanya diawali dengan pemilihan benih tanaman non-hibrida yang dimaksudkan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. Tanaman non-hibrida sendiri secara teknis memang memungkinkan untuk ditanam tanpa menggunakan bahan kimia atau dapat tumbuh dan berproduksi pada kondisi alami. Sementara tanaman hibrida biasanya dikondisikan seperti harus menggunakan pupuk kimia atau pemberantasan hanya dengan pestisida kimia. Perbedaan lainnya  antara tanaman padi non-hibrida dan tanaman padi hibrida adalah pada penggunaan pupuk dasar.

Pertanian organik  sebagai  sistem budidaya pertanian yang memanfaatkan bahan- bahan  alami tanpa  menggunakan  bahan  kimia sintetis.  Pertanian  organik berkembang  karena adanya kesadaran masyarakat terkait sistem pertanian berbasis high input energy seperti pupuk dan pestisida kimia sintetis yang dapat  merusak lingkungan dan tidak baik bagi kesehatan manusia.

Keberlanjutan pertanian organik, tidak dapat dipisahkan dari dimensi ekonomi, selain dimensi lingkungan dan  dimensi sosial. Aspek  ekonomi dikatakan berkelanjutan apabila produksi pertaniannya mampu mencukupi kebutuhan dan memberikan pendapatan yang cukup bagi petani. Pertanian organik juga menjadi salah satu tujuan  pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) yaitu untuk  mengentaskan kemiskinan, meningkatkan   ketahanan   pangan dan nutrisi serta mendorong berkembangnya pertanian berkelanjutan.

Pada tahun 2019, pemerintah menggalakkan budidaya padi bebas organik dengan menyalurkan bantuan sarana produksi pertanian berupa benih padi Inbrida; pupuk organik sebagai pembedah tanah; pestisida hayati; pupuk hayati dan pupuk anorganik yang ditujukan untuk  meningkatkan  produksi,  produktivitas,  mutu hasil serta meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani pada lahan seluas 60.000 hektar.

Sistem pertanian organik ini berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan maka pendampingan sangat penting karena proses menjadikan Indonesia penghasil padi organik (bebas residu) tidak selesai hanya sampai pada penanaman melaikan hingga pemasarannya.  

Untuk itu, pendampingan oleh para penyuluh perlu terus dilakukan agar cara bercocok tanam yang sesuai dengan kaidah pertanian organik dapat diwujudkan dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi produk organik (bebas residu) semakin meningkat sehingga peluang pasar untuk beras organik (bebas residu) semakin terbuka.

 

Pustaka

Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Serealia 2019, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian.

litbang.pertanian.go.id